Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Tentang Anjing

Banyak orang yang takut anjing. Termasuk saya pada awalnya. Ketakutan saya terhadap anjing bukannya tanpa alasan. Waktu TK saya pernah digigit anjing tetangga dan kaki saya berdarah-darah. Kok bisa? Begini ceritanya, ada seorang tetangga yang memelihara anjing. Orang-orang sering bilang, "Anjing itu rabies, suka ngejar-ngejar orang, hati-hati kalau digigit kamu bisa kena rabies!". 

Saya memang takut karena saya sering melihat anjing itu menyalak-nyalak bila ada orang lewat di depan rumah si pemilik. Jenisnya mungkin Schnauzer dengan bulu-bulu lebat menutupi muka. Gonggongannya membuat saya bergidik. Maklum lah, anak TK. Suatu hari, sepulang sekolah, saya dijemput paman dengan menggunakan sepeda. Paman tampaknya sedang terburu-buru, lantas dia memilih lewat jalan kampung. Saya sudah tahan nafas, takut kalau ada anjing tetangga yang galak itu. Eh ternyata benar. Anjing itu berdiri di depan rumah, di pinggir jalan yang hendak kami lewati.

Paman saya sudah memperingatkan untuk diam saja. Tapi entah kenapa yang muncul justru mulut saya yang ikut menyalak, "Guk, guk, guk!". Spontan anjing itu berlari kencang mengejar kami. Genjotan kaki paman tak bisa menandingi lompatan kaki anjing itu dan hap! Betis saja digigit. Saya berteriak dan mengibaskan kaki tapi anjing itu tidak mau melepaskan gigitannya. Paman saya yang kebingungan langsung menendang anjing itu.

Saya menangis. Saya takut kena rabies. Darah sudah mengucur deras dari betis. Sampai di rumah kaki saya diobati ibu. Meski lukanya tak begitu parah, tapi saya tetap takut sebentar lagi saya kena rabies dan mati. Pikiran anak kecil memang konyol. Dan luka itu sembuh dengan sendirinya. Saya memang tidak mati karena gigitan anjing, tapi momentum itu memberikan trauma tersendiri bagi saya. Anjing, bagaimanapun lucunya tetap menakutkan buat saya.

Di lain cerita, pacar saya tinggal dengan anjing. Awalnya saya takut ketika anjing itu dibawa pulang. Dia dinamai Dingo. Tubuhnya kecil, ringkih, warnanya putih, dan tatapannya sendu. Penghuni kontrakan lain membelinya dari pasar hewan. Dingo adalah anjing pertama dengan tatapan  melankolis yang pernah saya lihat. Saya sangsi di anjing betulan. Jangan-jangan hanya boneka.


Dingo selalu dirantai saat saya datang karena saya takut dia tiba-tiba mengejar dan menggigit saya. Lama kelamaan saya bisa menerima kehadiran Dingo sebagai bagian dari hubungan kami. Konyol juga ya kalau saya meminta pacar saya pindah kontrakan hanya karena seekor anjing. Mulanya saya mencoba tidak menggubris keberadaan Dingo, sampai suatu hari sebuah peristiwa traumatis menimpa Dingo saat saya di luar kota.

Seorang tetangga yang barangkali kurang suka dengan keberadaan Dingo mencelakai anjing malang itu. Pemiliknya, Mas Tambeng, menemukan Dingo tak berdaya di parit, tak jauh dari kontrakan. Saya kira waktu itu Dingo memang patah tulang kaki. Tidak tega rasanya melihat anjing mungil itu dianiaya. Saya mulai iba dan mungkin sudah  jatuh cinta padanya.

Sejak hari itu saya membuka hati untuk seekor anjing yang malang. Rasanya seperti terapi. Mulanya saya mengelus-elus dalam keadaan dia dirantai. Itupun saat Dingo sedang tengkurap di lantai. Lama-lama saya tidak keberatan diikuti ke mana kaki saya melangkah; ke luar, ke dapur, ke kamar mandi, ke ruang tv. Saya juga sering membeli oleh-oleh untuknya. Apa saja yang ada dagingnya. 

Di kontrakan itu, meski saya hanya berdua dengan Dingo (kalau pacar saya biasanya kuliah atau sedang ada keperluan) saya merasa aman. Saya tidak takut orang asing karena sebelum orang asing memasuki rumah, Dingo akan menggonggong keras sekali. Siapapun akan segan memasuki kontrakan. 

Selang waktu berjalan, interaksi saya dengan Dingo tak lagi berbatas. Saya berani memandikan, saya berani memeluknya, dan saya suka di menjilati telapak tangan saya waktu disuapi. Saya berubah jadi ibu. Ibu dari seekor hewan yang kesepian. Saya menjadi tempatnya berlindung bila dia sedang dimarahi karena mencabik-cabik barang-barang di kontrakan, saya memanjakannya seperti anak sendiri, and it was amazing. 

Begitulah, banyak yang saya pelajari dari anjing. Anjing mengingatkan saya pada hubungan orangtua dan anak. Ketika Dingo nakal, merusak tiga sepatu kesayangan saya, saya sebal bukan main. Saya ingin memukulnya, saya ingin mencekiknya. Tapi saya juga menyayanginya. Perasaan campur aduk yang aneh. Mungkin begitu rasanya jadi orangtua kalau anak kita nakal. 

Anjing selalu ingin bebas. Sama seperti kita. Bila Dingo pergi dari rumah, maka saya yang mungkin paling khawatir. Saya takut kejadian buruk menimpanya. Saya ingin dia lekas pulang. Mungkin ibu juga begitu pada pada ketika saya lebih banyak meninggalkan rumah daripada pulang. Ah, saya rasa bila diteruskan akan lebih mengharukan dari sebuah kisah cinta sepasang manusia, haha.. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar